Kamis, 18 Agustus 2011

Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional
  1. Pengantar
  2. Bab I Ketentuan Umum
  3. Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
  4. Bab III Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan
  5. Bab IV Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan
  6. Bab V Jenjang Pendidikan
  7. Bab VI Peserta Didik
  8. Bab VII Tenaga Kependidikan
  9. Bab VIII Sumber Biaya Pendidikan
  10. Bab IX Kurikulum
  11. Bab X Hari Belajar dan Libur Sekolah
  12. Bab XI Bahasa Pengantar
  13. Bab XII Penilaian
  14. Bab XIII Peranserta Masyarakat
  15. Bab XIV Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
  16. Bab XV Pengelolaan
  17. Bab XVI Pengawasan
  18. Bab XVII Ketentuan Lain-lain
  19. Bab XVIII Ketentuan Pidana
  20. Bab XIX Ketentuan Peralihan
  21. Bab XX Ketentuan Penutup

Pengantar

Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan melalui undang-undang berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang ;
  2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ;
  3. Sistem pendidikkan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional ;
  4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;
  5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditempatkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran;
  6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
  7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan;
  8. Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik;
  9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar;
  10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana, dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
  11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
  12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional.

Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan

Pasal 2
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pasal 4
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Bab III. Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan

Pasal 5
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk nemperoleh pendidikan. Pasal 6
Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Pasal 7
Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 8
  1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
  2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
  3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab IV. Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan

Pasal 9
  1. Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
  2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan bersinambungan.
  3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis.
Pasal 10
  1. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
  2. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan.
  3. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
  4. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
  5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
  1. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
  2. Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat- tingkat akhir masa pendidikan.
  3. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.
  4. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
  5. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Depatemen Pemerintah atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
  6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
  7. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
  8. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
  9. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab V. Jenjang Pendidikan

Bagian Kesatu Umum
Pasal 12
  1. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
  2. Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.
  3. Syarat-syarat dan tata cara pendirian serta bentuk satuan, lama pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pendidikan Dasar Pasal 13
  1. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
  2. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan dasar, dan penyelenggaraan pendidikan dasar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
  1. Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar.
  2. Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
  3. Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 15
  1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
  2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.
  3. Lulusan pendidikan menengah yang memenuhi persyaratan berhak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
  4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 16
  1. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
  2. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
  3. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.
  4. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
  5. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.
  6. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
  7. Unversitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
  8. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
  1. Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
  2. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/ atau profesional.
  3. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
Pasal 18
  1. Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional.
  2. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
  3. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan.
  4. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
  5. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
  6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
  1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan.
  2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan. Pasal 21
  1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor.
  2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu.
  3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
  1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
  2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah.
  3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab VI. Peserta Didik

         Pasal 23
  1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut:
  1. mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
  2. mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan;
  3. mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
  4. pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki;
  5. memperoleh penilaian hasil belajarnya;
  6. menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan;
  7. mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Pasal 25
  1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk
    1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
    2. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
    3. menghormati tenaga kependidikan;
    4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 26
Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing- masing.

Bab VII. Tenaga Kependidikan

         Pasal 27
  1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
  2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
  3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
Pasal 28
  1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
  2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
  3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.
  4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
  1. Untuk kepentingan pembangunan nasional, Pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak- hak berikut:
  1. memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial :
    1. tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri;
    2. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu;
    3. tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan;
  2. memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja;
  3. memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugasnya;
  4. memperoleh penghargaan seuai dengan darma baktinya;
  5. menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 31
Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk :
  1. membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. menjunjung tinggi kebudayaan bangsa;
  3. melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian;
  4. meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
  5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 32
  1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
  2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah.
  3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
  4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah  

Bab VIII. Sumber Daya Pendidikan

Pasal 33
Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik. Pasal 34
  1. Buku pelajaran yang digunakan dalam pendidikan jalur pendidikan sekolah disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
  2. Buku pelajaran dapat diterbitkan oleh Pemerintah ataupun swasta.
Pasal 35
Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar. Pasal 36
  1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
  2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.
  3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bab IX Kurikulum

Pasal 37
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Pasal 38
  1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
  2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.
Pasal 39
  1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
  2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :
    1. pendidikan Pancasila;
    2. pendidikan agama;
    3. pendidikan kewarganegaraan.
  3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :
    1. pendidikan Pancasila;
    2. pendidikan agama;
    3. pendidikan kewarganegaraan;
    4. bahasa Indonesia;
    5. membaca dan menulis;
    6. matematika (termasuk berhitung);
    7. pengantar sains dan teknologi;
    8. ilmu bumi;
    9. sejarah nasional dan sejarah umum;
    10. kerajinan tangan dan kesenian;
    11. pendidikan jasmani dan kesehatan;
    12. menggambar; serta
    13. bahasa Inggris.
  4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Bab X. Hari Belajar dan Libur Sekolah

Pasal 40
  1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri.
  2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan agama, dan faktor musim.
  3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur hari-hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).        

Bab XI. Bahasa Pengantar

Pasal 41
Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Pasal 42
  1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
  2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.  

Bab XII. Penilaian

Pasal 43
Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian. Pasal 44
Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional. Pasal 45
Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan. Pasal 46
  1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala.
  2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.

Bab XIII. Peranserta Masyarakat

Pasal 47
  1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
  2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
  3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab XIV. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

Pasal 48
  1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.
  2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.

Bab XV. Pengelolaan

Pasal 49
Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri. Pasal 50
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang dislenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 51
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Bab XVI. Pengawasan

Pasal 52
Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 53
Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

Bab XVII. Ketentuan Lain-lain

Pasal 54
  1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional.
  2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.
  3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan.
  4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
  5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab XVIII. Ketentuan Pidana

Pasal 55
  1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 56
  1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.

Bab XIX. Ketentuan Peralihan

Pasal 57
  1. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
  2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
  3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
  4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.

    Bab XX. Ketentuan Penutup

    Pasal 58
    Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,
    1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
    2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
    3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
    4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku.
    Pasal 59
    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Sabtu, 06 Agustus 2011

UU Pers

UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 1/11
=====================================================
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan
rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis,
sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi
manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan
pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982
sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undangundang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 2/11
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta
perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan,
atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi
informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan
peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang
orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 3/11
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk
kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 4/11
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama
dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan
hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara
Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
3. Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang
dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan
dengan keputusan Presiden.
6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat
dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di
Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 5/11
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan
teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di
bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku
atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini,
wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap
Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 6/11
Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut
ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan
penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 7/11
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
I. UMUM
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi
media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana
untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers
berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal
itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan
kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat
terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta
keadilan dan kebenaran terwujud.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi
juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang
berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme,
maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka
dikontrol oleh masyarakat.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 8/11
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya
Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk
dan cara.
Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak
mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas
pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat
dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Pasal 4
Ayat 1
Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak
masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik
Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Ayat 2
Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku
pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam
ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat
melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 9/11
Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di
pengadilan.
Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara
atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pasal 5
Ayat 1
Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasuskasus
yang masih dalam proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam
pemberitaan tersebut.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 6
Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan
menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong
ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi
hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik" adalah kode etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” adalah jaminan perlindungan
Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi,
hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
Ayat 1
Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama
untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk
mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil
10/11
karena itu negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk
lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "bentuk kesejahteraan lainnya" adalah peningkatan gaji,
bonus, pemberian asuransi dan lain-lain.
Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara
manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak
mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara :
a. media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung
jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan;
b. media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal
atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;
c. media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter
media yang bersangkutan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya
jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.
Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab
perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana pengamat ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat 1
Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers
nasional.
Ayat 2
Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana
dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil
11/11
Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode
Etik Jurnalistik.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi
pemantau media (media watch).
Pasal 18
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers,
maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887